RAKYAT BUTUH SOLUSI BUKAN OTAK-ATIK DATA DEFORESTASI
Ilustrasi rumah terendam banjir. (Foto: AFP TV)
Oleh : Indah Ummu Haikal
(Komunitas Muslimah Rindu Surga Bandung)
Presiden Joko Widodo dalam perhelatan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 26) di Glasgow, Skotlandia pada 1 November lalu menyatakan bahwa Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan krisis iklim, dari keberhasilan menekan kebakaran hutan, hingga turunnya deforestrasi yang pada tahun 2020 turun menjadi 115 ribu hektar (Tempo, 13/11/2021). Deforestrasi adalah situasi hilangnya tutupan hutan beserta segala aspeknya yang berdampak pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri.
Esoknya, sebagaimana dilansir detik.com (14/11/2021) pada tanggal 2 November 2021, Greenpeace Indonesia suatu lembaga swadaya masyarakat, organisasi lingkungan global, menyayangkan isi pidato tersebut yang menurut mereka tidak memperlihatkan komitmen serius dan ambisius yang merupakan inisiatif pemerintah sendiri. Sebagai anggota G20 dan bahkan memegang presidensi G20 di 2022, Indonesia seharusnya bisa menjadi contoh bagi banyak negara berkembang untuk memutus ketergantungan terhadap energi kotor, mewujudkan nol deforestasi, serta tidak bergantung pada dukungan internasional.
Greenpeace menyatakan bahwa deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Dari tahun 2002 sampai 2019, terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektare dari konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 2,77 juta hektare kebun sawit. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Adapun tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, ini tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektar hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.
Terkait penurunan luas kebakaran hutan (karhutla), Greenpeace menyatakan bahwa penurunan luas karhutla 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektar ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah.
Pemerintah tidak boleh menganggap sepele angka tersebut, sebab ongkos sesungguhnya harus ditinjau dari masalah kesehatan masyarakat, biaya penanggulangan, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Tingkat keseriusan pemerintah harus ditindaklanjuti dengan proaktif menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut.
Selain itu, pemerintah bisa mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang melegalisasi atau mempercepat terjadinya degradasi gambut. Komitmen ini harus ditindaklanjuti dengan penindakan tegas dengan mencabut izin usaha dan ganti rugi pemulihan lingkungan sehingga memberikan efek jera, ketimbang sanksi administrasi yang lunak bagi perusak lingkungan. Indonesia sulit berharap terbebas dari karhutla tahunan dalam waktu dekat, pasalnya pemerintah masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri menggarap lahan gambut.
Setelah mengkritisi pidato Presiden Joko Widodo soal deforestasi di KTT COP26 di Glasgow tersebut, Skotlandia, Ketua Greenpeace dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Husin Shahab selaku Ketua Cyber Indonesia terkait dugaan menyebarkan berita bohong. Meskipun kemudian laporan tersebut dicabut kembali (Detik.com, 15/11/2021).
Terlepas dari pelaporan dugaan menyebarkan berita bohong tersebut, secara fakta Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki sumber daya hutan terbesar, akan tetapi kekayaan hutan di Indonesia setiap tahunnya mengalami penurunan, yang disebabkan oleh laju deforestasi yang semakin tinggi.
Menurut data Global Forest Watch, selama tahun 2002-2020 Indonesia telah kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer.Konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, kebakaran hutan dan lahan, masih menjadi indikasi penyebab utama deforestasi di Indonesia. Meski sudah ada upaya reboisasi melalui pertumbuhan alami atau penanaman, tetapi diperlukan waktu bertahun-tahun supaya pohon dapat menyerap CO2 sepenuhnya. Deforestasi dapat menimbulkan berbagai dampak buruk bagi kehidupan manusia, sebab hilangnya pepohonan yang ada di dalam hutan dapat memicu berbagai bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kekeringan dan juga krisis iklim, karena hutan merupakan tempat penyimpanan dan daur ulang karbondioksida yang cukup besar.
Akar penyebab krisis lingkungan yang selalu terjadi dari tahun ke tahun adalah diterapkannya sistem kapitalisme di hampir seluruh negara. Sistem ini menyebabkan keuntungan materi selalu dinomorsatukan sehingga mengabaikan perlindungan lingkungan. Terlihat sekali keberpihakan pemerintah terhadap aktivitas para pengusaha yang berkepentingan terhadap pemanfaatan hutan yang menyebabkan semakin luasnya hutan yang mengalami deforestrasi. Namun Pemerintah terus menyuguhkan kepada publik sejumlah data untuk menguatkan klaim keberhasilan mengatasi deforestrasi. Sesungguhnya rakyat tidak butuh otak-atik data dan klaim keberhasilan, karena yang dibutuhkan rakyat adalah solusi nyata berupa kebijakan yang utuh menyeluruh untuk memastikan penyelamatan alam dan perbaikan kehidupan mereka.
Sudah saatnya sistem Islam diterapkan untuk mengatur lingkungan. Sistem ini akan melindungi hutan secara total, mencegah deforestasi yang tidak terkendali, mengatasi krisis iklim, serta menjaga hak-hak masyarakat adat dan lokal. Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam saja, akan tetapi mengajarkan pula bagaimana aturan dalam pemanfaatannya, karena setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumber daya alam yang dimiliki bersama, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, sepanjang tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain.
Dalam Al - quran, Allah SWT berfirman tentang melarang pengrusakan dimuka bumi yaitu dalam surat Al - A'rof ayat 56 yang artinya " Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada Allah dengan rasa takut dan harapan, sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik "
Menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah kewajiban kita semua baik individu, kelompok, perusahaan dan negara.
Wallahu A'lam bishawab